Selasa, 26 Mei 2020

Cerita Pendek

PERTEMUAN DI BENTENG ROTTERDAM Karya : Yudir Suhaedir Pagi itu, udara terasa sangat menyegarkan. Hanya ada suara kokok ayam jantan yang saling beradu, memamerkan keindahan suaranya. Kubuka mataku perlahan, seraya melirik sekilas jam bundar yang tergantung di dinding kamarku. “Hhh.. Waktunya bangun” Pikirku di dalam hati. Aku lalu bangkit dari tempat tidurku, kutarik selimut yang masih sangat berantakan di atas tempat tidur itu. Sudah beberapa tahun semenjak aku mulai bisa melipat sendiri selimut yang kupakai. Selesai kurapikan tempat tidurku, aku pun berjalan melangkah menuju pintu setinggi 2 meter yang berada di sudut kanan tempat tidurku. Kuputar kunci ynag masih melekat pada gagang pintu itu, sambil tangan kiriku yang alihkan ke balik pintu untuk mengambil handuk biru tua yang memang selalu aku gantungkan di sana. Pagi itu aku merasa sangatlah bersemangat, bagaimana tidak? Itu adalah hari pertamaku duduk di kelas X SMA. Sebenarnya, aku sudah menjadi murid SMA semenjak seminggu yang lalu. Namun, tentu saja itu belum dapat dianggap sebagai hari pertamaku menjadi siswi SMA. Karena, selama 6 hari berturut-turut yang kulakukan di sana hanyalah berbaris dan bernyanyi. Hahah, benar sekali itu adalah saat-saat dimana aku menjalani MOS atau Masa Orientasi Sekolah. Sebenarnya aku suka dengan kegiatan itu, hanya saja aku saat dimana aku harus berbaris dan mengikuti semua perintah pelatih yang katanya berprofesi sebagai tentara itu membuatku sedikit merasa lelah. Maklumlah, itu adalah pengalaman pertamaku dalam hal baris-berbaris. Saat aku mengikuti MOS, tidak ada hal yang menurutku spesial. Semuanya biasa saja, aku mulai mencari teman yang kuanggap cocok untuk menjadi temanku bergurau. Ternyaata di sekolah itu, juga banyak teman-temanku yang dari SMP juga mendaftar di sana. Hhh sebenarnya aku sedikit kecewa karena aku tidak berhasil masuk ke SMA di kotaku, namun aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Kota ku bernama Makasar salah satu kota yang terletak dibagian timur Indonesia tepatnya berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Aku tinggal di sebuah rumah besar kebanggaan keluargaku. Sebuah rumah megah peninggalan leluhurku yang masih sangat tradisional namun berdiri kokoh tak lekang dimakan usia dan zaman. Penduduk sekitar kami biasa menyebutnya dengan nama rumah bola. Rumah adat bola terbuat dari kayu pilihan dan bebentuk panggung. Berbeda dengan namanya yang mungkin banyak orang berpendapat bahwa bentuk rumahku bulat seperti bola sepak. Bola ini memiliki tinggi dari tanah 3 meter serta berbentuk segi empat. Lima tiang penyangga kearah belakang dan lima tiang penyangga kearah samping. Di kampungku kepemilikan rumah adat bisa dilihat dari bentuk fisik dan jumlah tiang penyangga atau besar kecilnya tiang penyangga. Kalau jumlahnya lebih bayak atau besar maka pemiliknya adalah bangsawan. Hari-hariku di SMA sangatlah menyenangkan, aku memiliki teman yang sangat baik dan peduli terhadapku. Walaupun, di sekolah itu aku terkenal dengan sifatku yang aneh dan tak biasa. Aku tetap optimis dan berpikir positif. Banyak teman-teman yang selalu mencariku, mereka mencariku hanya untuk mengganggu dan mengusikku. Aku tidak pernah marah ataupun merasa disakiti opleh mereka. Karena aku tau kalau mereka itu hanya bermaksud untuk bergurau denganku.“Hhh.. Mana semua orang si? Lama banget!” Keluhku saat aku memasuki ruang kelas. Aku berada di ruang kelas X 1. Setiap pagi akulah murid yang pertama kali datang ke sekolah itu, dan saat pagi-pagi seperti ini pak penjag asekolah akan selalu memutar lagu nostalgia ynag sangat terkenal di jamannya. Aku juga sangat menyukai lagu itu, karena ayahku merupakan pecinta dan penikmat musik jass. Di kelas aku melangkah menuju ke kursi ynag berada di urutan ke 4. Setiap murid memiliki 1 buah kirsi dan 1 buah meja, ya..kami duduk tersendiri. Awal pertama kali aku melihat hal itu aku merasa geli dan aneh, karena aku merasa kalau hal tersebut hanya akan terjadi pada mahasiswa. Hehe aku terlalu banyak menonton sinetron.Saat sampai di mejaku, yang aku lakukan hanyalah duduk dan diam, aku tidak suka berjalan keluar kelas ataupun membuka buku pada saat-saat seperti inI. lagi pula apa yang dapat aku lakukan dengan membuka buku? PR ku juga tidak ada. Seiring berjalannya waktu, satu persatu teman-temanku pun mulai berdatangan. Namun tidak ada di antara mereka yang menyapa ataupuun melihat ke arahku. Aku pun kembali ke posisi awalku, diam tampa berkutik. Hanya mataku yang terus berputar mencari dan menunggu seseorang muncul di balik pintu kayu coklat itu. Tak lama berselang, kulihat seorang anak lelaki berkulit sawo matang yang tingginya tidak dapat dipungkiri..kalau dia itu lebih tinggi daripada aku. Gaya rambut rata yang terlihat mirip seperti potongan rambut para tentara itu menjadi salah satu ciri khasnya. Begitu kulihat anak itu, entah mengapa tanpa sadar aku menebar senyum di wajah yang sedari tadi masam. Anak itu berjalan dengan sedikit terburu-buru, langkah kakinya yang cepat membuatku semakin memperhatikannya. “Jreeb..” Diletakkannya tas ransel hitam miliknya di atas kursi kayu yang memang menyatu dengan meja di sisi kananku. “Ardi!!” teriakku memanggil nama samarannya. “Apa?” Balas anak berhidung mancung itu padaku, dengan sikapnya yang masih berdiri hendak pergi. “Kok lama banget datangnya Ar?” Tanyaku padanya. “Gak apa-apa” Jawab anak itu singkat. Melihat gelagatnya yang terlihat hendak pergi, aku pun segera menahannya dengan melempar perintah padanya. “Mau ke mana Ar? Sini aja sih! Jangan ke mana-mana” mendengar ucapanku itu Ardi pun terdiam, dia melihatku dengan tatapan sinis, namun akhirnya dia tersenyum dan mengikuti perintahku untuk tetap tinggal di sana. Ya..itu lah Ardi, satu-satunya lelaki yang paling kukagumi, selain menjadi teman dia juga menjadi sahabat yang sangat kubanggakan. Sikapnya yang terkenal pendiam itu membuatku semakin nyaman berteman dengannya. Setiap hari hanya padanya lah aku bercerita akan berbagai macam kejadian dan peristiwa yang kualami. Dia selalu bersedia mendengar setiap kisah dan keluh hatiku. Meskipun banyak orang yang mengatai dirinya karena mau berteman dengan orang aneh seperti diriku. Perkenalan aku dan ardi terjadi ketika kami sama-sama bermain mengunjungi benteng tua yang terletak tidak jauh dari rumah kami. Hal ini terjadi ketika kami masih duduk di sekolah dasar. Oh ya benteng adalah bangunan yang digunakan sebagai tempat pertahanan pada masa perang. Pada zaman kerajaan di nusantara, benteng dibangun secara bersama-sama melibatkan seluruh warga. Rotterdam nama benteng itu. Benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat kota Makasar. Konon menurut cerita moyangku bangunan benteng ini diperkirakan dibangun pada tahun 1545. Sama seperti biasanya, hari ini aku dan Ardi mengobrolkan banyak hal. Aku berbincang dengannya mengenai banyak hal, entah itu mengenai pelajaran, film, ataupun lagu. Ardi selau tersenyum saat aku membicarakan sesuatu hal padanya dan itu membuatku semakin antusias untuk melanjutkan perbincangan kami.Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, bel masuk kelas pun berbunyi. “Teeet.. Teet..” Seluruh siswa memasuki kelas, kami hanya akan menunggu guru untuk mengajar. Lain halnya dengan aku dan Ardi yang selalu memanfaatkan setiap waktu senggang di dalam kelas untuk berbincang. “Wooi!! Kalian ini, ngobrol mulu..” Gerutu Farrel, seorang anak lelaki bertubuh tidak lebih tinggi dariku. Dia adalah teman akrab Ardi. “Ck.. Farrel, ribet aja sih Rel. Kan gak kedengeran.” Ucapku menimpali ucapan Farrel yang duduk tepat di depan mejaku. “Lagian kan sudah bel, kalian stop dulu gosipnya lah..” Farrel kembali mambuatku kesal dan kali ini aku tidak membalas ucapannuya melainkan kembali mengobrol dengan Ardi.Farrel yang sadar kalau sedang aku acuhkan pun hanya bisa menarik nafas dalam lalu memukul pelan meja Ardi, “Gak usah pedulikan dia Ar..!!” Ucap Farrel sebelum akhirnya dia memutar tubuhnya amenghadap ke depan kelas. Ardi yang mendengar hal itu hanya tertawa sambil melihat ke arahku, aku tidak mempedulikan ucapan Farrel, karena hal itu sudah sering dilakukannya. Saat aku dan Ardi asyik bergurau, tiba-tiba saja Bu Nadya memasuki kelas, Ibu Nadya adalah wali kelas kami. “Selamat pagi” Sapa bu Nadya dengan serempak kami membalas sapaan ibu Nadya. Kemudian ketua kelas memberi aba-aba untuk memulai doa dan penghormatan untuk ibu Nadya. Tak lama pembelajaran dimulai, tiba-tiba saja seorang guru BP memasuki kelas yang diikuti dengan seorang murid lelaki bertubuh tinggi dan bewrkulit putih di belakangnya. Aku yang melihat hal itu pun mulai menerka-nerka apa yang terjadi, hingga akhirnya guru BP meminta anak jangkung itu untuk duduk di kursi kosong di Urutan ke 2 di barisan. Sontak saja kelas menjadi riuh dengan bisikan-bisikan para murid yang heran melihat kedatangan anak itu. Tentu saja aku tahu bahwa anak itu adalah murid baru, namun.. Dia datang tanpa ada sesi perkenalan?!Kuperhatikan anak itu dari belakang, kulihat sepintas, dia adalah anak yang sangat tinggi. Bahkan tingginya melebihi Ardi. Aku pun mendengar bisikan yang datang dari arah belakang mejaku. “Sst.. Sst.. Kalian tahu gak, itu tu..si anak baru, temen SMP aku lho..” Ungkap Fahra, seorang siswi yang duduk di meja paling belakang dan sekaligus sebagai ketua kelas di kelasku. Aku terkejut mendengarnya. aku pun ikut penasaran dengan ungkapan Fahra tentang si anak baru. “Fahra, namanya siapa?” Tanyaku pada Fahra. “Oh.. Fikry, tapi setahuku dia itu awalnya mau masuk pesantren. Kenapa pindah ya?” “Apa?! Pesantern?? Wah..alim dong..” Begitulah pemikiran awalku terhadap si anak baru itu.. Atau yang sekarang kutahu kalau namanya adalah Fikry. Aku terus memperhatikan Fikry, aku begitu penasaran denga pribadi seorang anak pesantren, yang kuanggap pastilah akan sangat santun dan berbudi terpuji. Sejauh yang ku ihat, anak itu terlihat seperti memiliki sifat yang tidak jauh berbeda dengan Ardi, yaitu sama-sama memiliki sifat pendiam. Namu saat jam sekolah selesai, dan seluruh siswa berbaris untuk menyalam guru. Aku memergoki Fikry tidak menyalami guru, aku melihat dia segera berjalan keluar dari kelas dengan menggendong tas ransel hitamnya keluar kelas. Saat itu yang terbersit di benakku adalah, “Dasar gak sopan”. Namun dikarenakan hal itu aku jadi selalu memperhatikan Fikry, dan tanpa aku sadari, perlahan aku mulai menyukainya. Aku tidak pernah berbicara dengan Fikry, entah lah.. Setiap hari yang kulakukan hanyalah mengamatinya dari kursiku. Aku mengetahui Fikry adalah murid teladan dan pintar, namun kepintarannya itu membuat dia selalu ditunggu-tunggu kehadirannya di kelas. Setiap kali ada PR, teman-temanku sekelas tidak pernah mengerjakannya di rumah. Mereka akan dengan ringan melangkah ke sekolah meski belum mengerjakan satu soal pun PR. Mau tahu alasan mereka begitu tenang? Hal itu karena setiap ada PR maka yang perlu mereka lakukan adalah berdiri di depan pintu kelas. Karena mereka sedang menunggu seorang malaikat yang dengan senang hati memberi mereka semua jawaban dari tugas itu. Tentu saja tidak lain dan tidak bukan adalah Fikry, dan itu tidak terkecuali Ardi. Aku sendiri bingung, mengapa dia sama sekali tidak keberatan memberi hasil jerih payah berpikirnya untuk orang yang bahkan tidak akan menyapannya itu. Namun, tiba-tiba saja terbesit di benakku untuk mulai berteman dengan Fikry. Jalan yang kupilih adalah dengan cara tidak mengerjakan PR. Dengan tidak menngerjakan PR maka aku dapat meminjam buku milik Fikry, dan dengan begitu dia pasti akan dapat melihat dan mengenalku. Mulai dari pemikiran inilah aku tidak pernah lagi memikirkan untuk mengerjakan PR di rumah, setiap hari aku hanya akan berpura-pura bodoh, demi agar Fikry menyadari kehadiranku.Lama-kelamaan aku pun mulai memberitahu Ardi tentang perasaanku yang menyukai Fikry, namun Ardi malah kembali bertanya dengan nada sinis “Memangnya apa sih, yang kamu suka dari dia?” Aku lalu dengan cepat menjawab pertanyaan Ardi “Karena dia pintar, baik, polos, alim, sopan, tinggi, putih, pendiem juga” Ardi yang mendengarku hanya terdiam lalu mengalihkan pandangannya padaku.. Saat itu lah kusadari kalau ternyata..Ardi menyukaiku..